Karya tulis ini telah dimuat dalam buku :
Dalam Dekapan Dada Kang Guru
HARI GINI NGGAK MANDI?
Oleh : Damianus Kusviantono,M.Pd
Pagi itu pukul
06:30 WIB aku bertugas memimpin doa.
Lonceng kecil di atas meja
aku bunyikan, gemerincing lonceng
pertanda doa siap dimulai, maka
teman-teman juga bergegas
menyiapkan diri untuk berdoa
bersama. Salah satu doa yang kami doakan bersama adalah Doa Bunda Elisabeth : “O pecinta hatiku yang manis, berilah
kami bagian dalam dukaMu, semoga hati
kami bernyala-nyala karena cinta, buatlah kami cakap dalam pengabdianMu, tetapi
tidaklah bermanfaat bagi kami saja, pun juga
bagi keselamatan sesama manusia, Amin”. Meski mengucapkannya setiap hari
aku tidak sepenuhnya sadar dengan doa itu. Sampai suatu saat aku merasa heran
kepada Bunda Elisabeth. Dalam hati kecil aku berkata: kok bisa-bisanya
ya … Bunda Elisabeth minta bagian
dalam penderitaan, menurutku, itu
nggak masuk akal untuk ukuran
orang-orang yang hidup jaman sekarang . Kalau bisa ya minta hidup
eenaaaak, tidak ada penderitaan,
sejak muda hidup kaya raya dan ketika mati maunya sih masuk
surga….
Ya…ternyata
doa singkat Bunda Elisabeth inilah telah
mengajariku untuk hidup tekun,
setia, kuat dalam melaksanakan karya pelayananku khususnya di bidang pendidikan. Tanpa aku
sadari, sudah 18 tahun tergabung dalam Yayasan Tarakanita. Ada kebanggaan
dalam diriku, aku telah mempunyai masa kerja yang cukup dan yang lebih membanggakan diriku adalah aku terlahir dari tangan kasih dan didikan
serta pendampingan para Suster Cinta Kasih Carolus Borromeus (Suster CB) sampai akhirnya
aku menjadi bagian dalam Yayasan Tarakanita.
Berawal dari Sekolah Minggu
Awalnya orang tuaku mendorongku
ikut sekolah Minggu. Memang aku sekolah
di SDN Kedungrejo II Waru waktu itu.
Tepatnya ketika aku berumur 9 tahun (Kelas 3 SD) sekitar tahun 1979 -1980 an. Aku mengenal
seorang suster di Sekolah Minggu. Waktu
itu yang mengajar sekolah minggu adalah suster
dan Romo Boli, SVD. Beliau tinggal di paroki Yohanes Pemandi –Wonokromo
(depan RSAL). Oh yaa… suster itu sering disapa dengan nama Suster Karita, CB .
Waktu itu aku tidak mengenal arti kata “CB” di belakang sebuah nama, yang aku
ingat adalah nama Suster Karita. Sekolah
minggu saat itu sungguh mengesankan, ketika mengajar dan menyanyikan lagu-lagu
Sekolah Minggu, suster berekspresi
sangat luar biasa. Demikian juga Romo
Boli. Beliau berdua selalu mewartakan kasih, mengajarkan doa-doa dasar, dan
selalu menugasi kami berdoa di rumah.
Ternyata sekolah Minggu menjadi pintu masuk aku semakin kenal dan dekat
dengan Yesus melalui karya Suster-Suster CB.
Selepas SD, aku melanjutkan ke
SMP Santo Yosef, Surabaya. Awal masuk
SMP ternyata aku bertemu lagi dengan Suster Karita CB. Dalam hatiku bertanya :
“Lho, ini kan suster yang mengajarku di sekolah Minggu ?” Pengetahuan agamaku dan kepribadianku sejak mengikuti sekolah Minggu mengalami
perkembangan dan banyak perubahan. Orang tuaku bilang “Kus, kamu tambah pintar
dan tidak nakal lagi sejak rajin datang
ke sekolah Minggu.” Aku bangga dengan ungkapan orang tuaku. Tidak hanya dengan Yesus, tetapi juga
seorang Bunda Elisabeth yang kemudian kutahu sebagai pendiri Kongregasi
Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Borromeus.
Suatu ketika,
aku berjumpa kembali dengan Suster Karita CB. Syukur kepada Allah. Dalam pembicaraan singkat, aku mencoba
mengingatkan beliau kembali, ” Suster, saya muridnya Suster di sekolah Minggu
dulu, sekitar tahun 1978-1979. Suster,
sekarang saya mengajar Agama di
SMP Santo Carolus, Surabaya. Suster Karita lantas berkata, “ Yo wis, aku seneng ternyata
ada yang mengikuti aku. ono sing nerusno karyaku, sukses ya.” Lantas aku
menjawab: “ Terima kasih Suster, mohon doanya.“ Rupaya suster masih
ingat bahasa Jawa, walaupun beliau sudah lama
bertugas di Belgia. Tidak hanya
dengan Suster Karita, selanjutnya aku juga mengalami pertumbuhan dengan
Suster-suster CB antara lain: Suster Ernesta CB (Kepala Sekolah SMP Santo Yosef
1982-1985), Suster Rosalin, CB , beliau pernah memberi rekoleksi aku ketika SMP Kelas
I, Suster Kristiana CB (Alm) sebagai Kasek SMP Santo Carolus (1993), Suster
Adriani CB juga sebagai pimpinanku, serta Suster Kanwil Suster Bertine dan
Suster Elsa Maryudah CB yang memberikan perhatian pada studi lanjutku. Dengan penuh
rasa hormat , aku menyampaikan
terimakasih. Berkat bimbingan para Suster CB , aku semakin mengenal karya–karya Suster CB dan
selanjutnya sampai pula mengenal lebih dekat lagi pada pendiri Suster-suter CB yaitu Bunda
Elisabeth yang sangat mewarnai perjalanan hidup spiritualitasku. Demikian,
hidupku bertumbuh berkat tangan kasih Suster–suter Cinta Kasih Carolus
Borromeus. Aku merasa bersyukur atas perjumpaan iman yang mengembangkan
hidupku.
Spiritualitas Bunda Elisabeth dalam Karyaku
Cinta para
suster CB yang menyala-nyala juga memberikan kehangatan dan menggetarkan diriku
untuk berkarya bagi sesama. Sebagai guru aku mempunyai pengalaman mendampingi
siswa yang bermasalah. Ada siswa yang datang ke sekolah tidak mandi.
“Weleh…weleh…, hari gini tidak mandi?” tanyaku dalam hati penuh rasa heran.
Tentu saja aroma menyengat dari bau
badan ditambah tidak ganti (maaf)
pakaian dalam. Sontak membuat suasana kelas tidak nyaman saat belajar
bersama-sama. Saat itu juga anak itu
disuruh mandi dan sikat gigi di sekolah
oleh wali kelasnya. Aku meminta Pak Rudi (PP) untuk membelikan CD (celana dalam) dan kaos dalam di mini market dekat sekolah. Sedangkan seorang
teman lain menyiapkan sabun mandi, sikat gigi dan pasta
gigi. Setelah membersihkan diri, siswa tersebut masuk ke kelas lagi untuk
belajar bersama-sama teman yang lainnya.
Nah, sekarang situasi kelas lebih nyaman untuk belajar. Siswa tersebut
memang pantas untuk diperhatikan.
Tidak semua
siswa memiliki kecepatan belajar yang sama. Untuk mata pelajaran yang sulit
seperti Matematika, Fisika, Bahasa Inggris tidak jarang persentase siswa yang
harus remidi cukup besar. Melihat kondisi demikian aku mempunyai gagasan dengan
membentuk Tutor Sebaya. Tutor Teman Sebaya ini masuk dalam Program Kerja
Sekolah yang implementasinya dilaksanakan oleh OSIS. Yuda (Ketua OSIS) dan
Victor (pengurus OSIS) bertindak sebagai motor penggerak. Mereka sangat
berperan aktif sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik sampai saat
ini. Rasanya tidak terlalu rumit dan sulit untuk mengajari mereka membuat jadwal, menyusun petugas dan
mengkoordinir teman-temannya yang memiliki kecakapan di 4 bidang mata
pelajaran, yaitu Matematika, Bahasa Inggris, Fisika dan Biologi. Memang
pengaruhnya bagi peningkatan hasil belajar masih kecil, tapi setidaknya ada
perkembangan. Kehadiran Tutor Sebaya
menjadi teman perjuangan bagi siswa yang mengalami kesulitan dan kelambatan
belajar. Para Tutor dengan sabar menjelaskan pada teman-teman mereka, mereka
juga enjoy karena temannya sendiri
yang menjelaskan, tidak takut dan malu-malu jika bertanya Mereka
sungguh-sungguh terbantu saat mengerjakan PR dan mempersiapkan ulangan. Mereka
mengerti teman-teman yang mengalami kesulitan butuh teman yang peduli terhadap
dirinya. Program Tutor Sebaya merupakan salah salah satu cara untuk menanamkan
nilai belarasa terhadap temannya yang berkesesakan (mengalami kesulitan dan
kelambatan dalam belajar dan tidak mampu mengikuti les karena tidak punya
biaya). Belarasa bukanlah suatu ungkapan saja melainkan menyatu dalam karya.
Hal ini sudah dilaksanakan oleh siswa-siswa di SMP Santo Carolus,
Surabaya. Kegiatan Tutor Sebaya dilakukan
dengan menyelesaikan PR dan menyiapkan ulangan yang akan datang. Itulah cara siswa SMP Santo Carolus
menghayati dan menghidupi nilai-nilai belarasa dalam peristiwa hidup
sehari-hari.
Tidak semua
siswa telah mengalami pencapaian tugas perkembangan yaitu pencapaian identitas
diri. Siswa yang telah mencapai tugas perkembangan diri nampak dengan ciri
sebagai berikut : mampu mengatur dirinya sendiri, disiplin dan mampu mengekspresikan diri dalam bidang
akademik dan non akademik (bakatnya). Namun, bagi yang belum mencapai tugas
perkembangan diri memunculkan masalah di sekolah, mulai dari terlambat masuk
sekolah, lupa membawa buku, tidak mengerjakan PR, berkelahi untuk hal sepele,
dll. Perlu sikap khusus untuk menghadapi mereka. Sabar, memahami situasi anak,
mau mendengarkan, tidak memulai dengan sikap marah, tidak mengeluh melainkan
siap membantu. Biarkanlah diri kita menjadi gelas kosong, sebagai wadah ( tempat) bagi anak-anak untuk mengadu, curhat masalahnya. Masalah mereka
cukup banyak dan juga rumit. Tidak hanya masalah dari dirinya kadang juga orang
tua memberikan beban pada mereka. Dengan
kondisi yang demikian, mereka terpaksa harus menanggung masalah orang tuanya.
Tidak jarang mereka putus asa bahkan ada yang membolos akibat pertengkaran yang
terjadi pada orang tua mereka. Sebagai guru, aku berusaha membantu siswa
menentukan pilihan hidupnya dengan benar.
Bunda Elisabeth
telah memberi teladan dalam doa singkatnya. Bunda Elisabeth
juga telah membawa kita pada Yesus Sang Juru Selamat. Maka tugas kita
selanjutnya adalah membawa jiwa-jiwa (para siswa) pada Kristus. Hati Bunda
Elisabeth adalah hati Yesus yang menyala-nyala dalam kasihNya. Sungguh luar
biasa imanya, sungguh Beliau adalah gambaran kasih Yesus yang hidup dan dekat
dengan kita. Maka diakhir Doa Bunda Elisabeth, aku secara pribadi menambahkan doa singkat: Bunda Elisabeth, jadikanlah hatiku seperti hatimu. Amin.
Komentar
Posting Komentar