Beauty Kusviantono: Di Persimpangan Jalan, Sebuah Cerpen Renungan Katolik


DI PERSIMPANGAN jalan
Karya : Beauty Kusviantono

                Hari masih pagi, udara masih basah sisa hujan semalam, saat kuarahkan teman setiaku ke arah tempat parkir. Halaman sekolah masih nampak lengang, kuayunkan langkah, melewati pinggir lapangan sepak bola. Muridku baru satu dua yang nampak. Sekolah baru akan dimulai setengah tujuh, jadi  waktu memang masih cukup panjang .Tanpa terasa, langkahku terbawa ke arah beranda  di sudut sekolah, di bagian samping ruang guru & ruang BK. Dan, begitu saja kenangan itu menyerbu…..
                “Selamat sore, Nina” salam Tinus, ketika kubuka pintu depan.
                “Hai, tumben resmi amat sih” balasku tertawa sambil mempersilakan Tinus masuk .
                “Kamu ada waktu, Nin, aku ingin bicara” lanjutnya setelah duduk.
                “Ada apa dengan kamu, nggak biasa-biasanya” sambungku. Tinus hanya tersenyum.
                “Kita keluar saja ya, aku ingin kita bicara dalam situasi yang tenang, “lanjutnya tanpa melihat  
kerut di dahiku.
“Baiklah, aku ganti baju dulu…”
                Dengan diam aku duduk disamping Tinus. Kubiarkan dia membawa mobilnya dalam hening. Kami sampai di pelataran Gereja, lalu dibawanya aku ke depan Goa Maria di samping kanan halaman. Misa harian sore itu telah usai, hingga suasana cukup sepi. Kami duduk di depan Goa Maria. Usai menarik napas panjang, Tinus memulai pembicaraan..
                “Nina, kamu pernah merasa sepi, sementara ada banyak orang disekitarmu?”, tanya Tinus
                “Pernah merasa asing, sementara ada orang terdekat di sampingmu?”
                “Merasa bimbang harus melangkah ketika menemukan persimpangan jalan?”
Aku semakin diam dalam kebingungan mendengar perkataan Tinus. Rasa dingin tanpa terasa menyentuh hatiku yang paling dalam. Seperti ada sesuatu yang hilang begitu saja dari hatiku. Sampai akhirnya aku merasa tidak tahan.
                “ Ada apa sebenarnya dengan kamu Tinus?. Kamu sepertinya mengalami kegelisahan yang cukup mengganggu dirimu. Sampai-sampai aku merasa asing dengan kamu. Kamu yang biasanya ramai, menjadi pendiam begitu,” lanjutku.
                Dipeluknya aku, didekapnya bahuku sejenak, lalu digenggamnya tanganku. Tinus menarik napas panjang lagi. Lalu Tinus tersenyum lembut sambil menatapku. Lanjutnya..
                “ Nina aku ingin minta maaf sebelumnya, aku telah membuatmu bingung. Begini…., dalam perjalanan kebersamaan kita, semakin lama aku semakin merasakan kehambaran menyelimuti hatiku. Aku merindukan “ Yang Lain”, tolong jangan berpikir yang macam-macam, cepat-cepat Tinus menyambung. Aku merasa ada suara yang begitu kuat menyebut namaku, yang membuat aku harus menoleh ke arah suara itu. Dan ketika aku menoleh, aku merasakan kesejukan yang luar biasa dalam hati. Namun, disitu aku merasa bingung & bimbang. Aku seperti berada di persimpangan jalan. Di satu arah, aku melihat jelas bayangan panggilan itu, tapi di arah yang lain aku melihat bayangan dirimu, Nina.”
                “ Aku sempat mengalami pergolakan dalam batinku, Nina. Aku mencoba merenungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan aku alami di kemudian hari. Aku sempat bimbang bagaimana kalau nanti aku gagal memenuhi panggilan itu, dan aku harus melepaskannya di perjalanan. Sementara  orangtuakupun, belum sepenuhnya mendukung. Ayahku mendukung sepenuhnya, namun Ibu masih mengungkapkan keberatan, mengingat aku anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami. Akupun mencoba bernegosisasi dengan Tuhan. Hingga sampailah aku pada satu titik keputusan bahwa hidup itu harus memilih. Dan aku memilih untuk berjalan ke arah panggilan itu”.
                Terjawab sudah rasa dingin dan rasa kehilangan yang tadi kurasa. Aku terdiam. Rasa hampa memenuhi hatiku. Dan begitu saja  mataku  berkabut, air mata mengalir tanpa bisa kubendung. Sebagian sisi hatiku terlepas..
                “Nina, sekali lagi maafkan aku. Aku ingin pamit. Aku tidak bisa membendung kerinduan itu. Relakan aku, doakan aku supaya langkahku tidak menjadi berat untuk bekerja di ladang Tuhan”, sambung Tinus.
                Aku hanya bisa mengangguk. Kesunyian dalam hari-hariku berikutnya seperti tergambar di depanku. Tuhan, maafkan aku, kalau hatiku sakit, bisikku dalam hati, tapi aku rela kalau itu memang kehendakMu.
                “Bu Nina, bisa membantu saya?”, panggil Bu Lusi, mengembalikanku pada saat ini.          
                “Apa yang bisa dibantu Bu Lusi?”
“Mengecek anak-anak yang bertugas Paduan Suara untuk upacara, saya mau mengambil teks  Undang-Undang Dasar yang kemarin dipinjam Pak Doni.”
                “ Baik, Bu Lusi”. Bu Lusi tersenyum sambil berjalan ke ruang Kepala Sekolah.
                Tiga tahun berlalu tanpa terasa. Dan aku masih sendiri. Banyak rekan guru yang menggoda, setiap kali kami bincang-bincang santai di waktu senggang.
“ Bu Nina, musim hujan sudah lewat lho, tapi matahari kok belum mau muncul juga ya..”, goda Pak Andre
“ Cucu saya dari Bu Tanti sudah mau lahir ini, lha kapan cucu saya yang dari Bu Nina ya, keburu saya pensiun nanti, “ sambung Bu Maria
Aku hanya tersenyum saja menanggapi gurauan itu. Aku tahu maksud mereka baik. Mereka tidak ingin aku tengelam dalam kesendirianku terus. Ada Pak Rio, guru baru yang oleh rekan-rekan guru didekatkan dengan aku, tapi aku menanggapinya dengan dingin saja. Sebenarnya aku tidak bermaksud menutup hatiku, hanya aku belum tersentuh, belum tergerak untuk mengawali sebuah jalinan lagi. Sejak kepergian Tinus untuk menempuh jalan panggilannya, aku belum belum kelihatan dekat dengan orang lain lagi, dan bahkan kelihatan menutup diri. Jadi tidak salah kalau mereka beranggapan aku masih terluka dengan jalinan yang pernah aku alami. Bahkan kedua orangtuaku-pun sempat khawatir dengan aku. Hal itu nampak dalam ungkapan yang terlontar dari Bapak,
“Nduk, Nina, Bapak dan Ibu lihat, hampir setiap hari dari pagi sampai malam kamu kok disibukkan dengan mengajar dan mengajar saja. Kamu ndak apa-apa to?”
“Bapak , memangnya ada yang salah dengan apa yang Nina kerjakan?”, aku bertanya.
“Ya tidak , tapi apa kamu tidak capek to, Nduk. Lalu hubunganmu dengan teman-teman, apa baik-baik saja?”, sambung Bapak lagi.
“Bapak ini ada-ada saja lho, Bapak dan Ibu tidak usah khawatir, hubungan Nina dengan teman-teman, baik-baik saja kok”, lanjutku, tanpa berusaha untuk bertanya ada apa lagi.
Aku cukup mengerti dengan apa yang disampaikan Bapak. Kesibukanku sebagai seorang guru sekaligus wali kelas dengan berbagai tugas baik tugas administrasi maupun tugas pendampingan murid yang bermasalah, karena aku tidak puas jika muridku yang bermasalah hanya diselesaikan oleh guru BK saja, ditambah sore hari aku mengajar di sebuah Lembaga Bimbingan Belajar, cukup menyita waktuku, hingga hampir aku melupakan hal yang satu itu.
Gedung megah nampak menjulang di depanku. Meski letaknya agak dalam, karena dibatasi halaman yang cukup luas dengan pepohonan yang cukup rindang, namun tidak mengurangi kemegahannya. Bahkan menunjukkan yang sebaliknya, kokoh dan angkuh.
Aku turun pelahan-lahan. Anak-anak sudah turun lebih dahulu. Hari ini aku mendampingi murid-murid mengunjungi Seminari Tinggi, kegiatan yang diadakan Sie Rohani Katolik OSIS di tempat aku mengajar. Aku tahu ditempat ini Tinus memenuhi panggilannya, di tempat ini Tinus mengabdikan karya panggilannya. Dan meski aku sempat tidak yakin dengan hatiku jika kami bertemu, tapi kuserahkan segalanya pada Tuhan.
 Kami disambut Romo Rektor, yang didampingi beberapa Frater. Kami saling berjabat tangan bergantian, sampai….
“Halo, selamat siang, Bu Nina”, sapa Frater Tinus
“Selamat siang, Frater “, sapaku sambil menatapnya sekilas.
Hanya Tuhan yang tahu apa yang kurasakan saat itu….

Komentar